Arah Baru Muhammadiyah

khusnul Khuluq aktivis imm dan intelektual muda muhammadiyah

Modernis.co, Jambi – Muhammadiyah merupakan salah satu gerakan pembaharu yang cukup dinamis. Gerakan yang lahir pada tahun 1912 ini terus gigih memperjuangkan ideologinya.

Diusianya yang lebih dari satu abad ini, tentu membuat gerakan ini semakin dewasa. Dan kini sudah bukan saatnya bagi Muhammadiyah untuk membahas persoalan internal. Ada tugas yang lebih besar yang harus dipikul oleh Muhammadiyah. 

Muhammadiyah sendiri, berdiri dengan dilatarbelakangi keinginan untuk memperbaharui pemahaman tentang ke-Islaman. Yang pada saat itu masih bercampur aduk dengan budaya lokal.

Pada awalnya, berdirinya Muhammadiyah mendapatkan kecaman-kecaman dari berbagai pihak. Berbagai fitnah ditujukan kepadanya. Bahkan pendirinya dituduh hendak mendirikan agama baru.  

Tentu kita tidak meragukan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah gerakan pembaharu. Modernisasi pendidikan yang dijalankan Muhammadiyah, melalui pengenalan sistem kelas modern dalam pendidikan. Menjadi salah satu bukti, bahwa Muhammadiyah adalah gerakan pembaharu.

Haedar Nashir, menyebutkan bahwa, ada tiga identitas dasar, bahwa Muhammadiyah memang layak disebut sebagai gerakan pembaharu.

Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Jelas bahwa lahirnya Muhammadiyah tidak lain diilhami oleh ajaran-ajaran Al Qur’an. Tidak ada motif lain, kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam kehidupan.

Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Ciri ini telah muncul sejak kelahirannya. Tentu menjadi tugas Muhammadiyah untuk meluruskan niat awal berdirinya Muhammadiyah.

Ketiga, Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid. Tajdid berarti pembaharuan. Istilah ini bisa kita artikan sebagai pemurnian dan pengembangan.

Pemurnian dalam artian pemeliharaan ajaran Islam yang berdasarkan sumber Al Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan pengembangan dalam artian pengamalan ajaran Islam progresif dengan tetap berpegang teguh kepada sumber ajaran.

Pada awal berdirinya, wilayah yang menjadi lahan garap gerakan ini adalah problem persinggungan Islam dengan budaya lokal. Yaitu  tahayul, bid’ah dan khurafat, yang lazim diringkas dengan TBC. Persoalan itu menjadi salah satu pokok bahasan pada waktu itu. Juga persoalan sosial ekonomi. Di mana umat islam terbelakang dalam soal pendidikan. Juga ekonomi.

Namun, usia Muhammadiyah yang telah genap satu abad ini, dan memasuki abad kedua, tentu harus membuat gerakan ini semakin matang dalam upaya membawa kemajuan.

Usia satu abad Muhammadiyah, pada hakikatnya membawa gerakan ini memasuki era baru. Termasuk juga lahan garap baru. Yaitu lahan garap baru dalam gelombang globalisasi.

Dalam salah satu kuliahnya, Kang Muslim, begitu sapaan akrab Muslim Abdurrahman, dia mengatakan “Saya ingin membangkitkan, sehingga anda tertantang untuk bertarung ke depan dalam tiga persoalan; Negara, pasar dan peradaban.” Kuliah itu sudah lama sekali. Tapi, masih sangat relevan untuk hari ini.

Dalam konteks masyarakat global, tiga hal itu yang menjadi tantangan bagi Muhammadiyah. Di situ, Muhammadiyah sebetulnya diuji, apakah jargon Islam berkemajuan yang diusung itu masih tajam taringnya atau tidak.

Tiga persoalan ini sejatinya sangat mendasar. Pertama terkait Negara. Maka, yang menjadi acuan utama Muhammadiyah adalah bagaimana Muhammadiyah secara aktif dapat ikut andil dalam pembangunan Negara ini.

Muhammadiyah adalah bagian dari bangsa ini. Di dalam kondisi negara yang sedang menuju krisis, sejujurnya Muhammadiyah  sedang diuji. Apa kemajuan yang akan ditawarkan, sebagai solusi untuk problem bangsa ini.

Kedua terkait pasar. Dewasa ini, hampir semua sektor ekonomi dikuasai oleh asing. Kita bisa lihat. Misalnya produk-produk Cina, Jepang, Jerman dan negara-negara lain membanjiri pasar di Indonesia. Mulai dari benda-benda kecil, sampai alat-alat berat.

Maka, dalam hal ini, bidang garap Muhammadiyah sekarang ini adalah bagaimana mampu bersaing dengan itu. Dengan kata lain, Muhammadiyah sudah harus memikirkan bagaimana meretas gelombang kapitalis global itu. Tentu ini tidak gampang.

Ketiga adalah masalah peradaban. Dalam hal yang satu ini, sekali lagi Muhammadiyah juga harus memikirkan secara serius, bagaimana menjadi motor penggerak. Sehingga Islam dapat bersaing dengan barat. Dan tentunya, ini tidak semudah membalik telapak tangan.

Jadi, kembali pada apa yang disampaikan Kang Muslim. Memasuki umurnya yang telah memasuki abad ke dua ini, Muhammadiyah  dihadapkan dengan tantangan-tantangan semacam itu. Yaitu, problem negara, pasar, dan peradaban.

M. Khusnul Khuluq
M. Khusnul Khuluq

Muhammad Khusnul Khuluq, S.Sy., M.H. Alumnus Jurusan Syariah Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2015. Peraih The Asia Foundation Scholarship of Master Program on Syaria and Human Right Studies.

Related posts

Leave a Comment